Hi, I'm attempting to translate a short story by O. Henry to practice and this is the result guys.
Jalanan di distrik barat Washington Square, sekarang mengerikan. Membentuk jalanan yang berliku. Jalanan terpecah menjadi garis-garis kecil yang dinamakan “tempat”. Antara jalan satu dengan yang lain saling terhubung. Para seniman menyadari akan potensi yang besar pada jalanan ini. Misalkan hasil lukisannya tidak di bayar. Padahal ia tidak punya uang. Seorang pria datang merubah hidupnya. Pria itu menyusuri jalanan lagi dan mengingat akan dirinya, yang tidak memiliki satu senpun!
Jalanan di distrik barat Washington Square, sekarang mengerikan. Membentuk jalanan yang berliku. Jalanan terpecah menjadi garis-garis kecil yang dinamakan “tempat”. Antara jalan satu dengan yang lain saling terhubung. Para seniman menyadari akan potensi yang besar pada jalanan ini. Misalkan hasil lukisannya tidak di bayar. Padahal ia tidak punya uang. Seorang pria datang merubah hidupnya. Pria itu menyusuri jalanan lagi dan mengingat akan dirinya, yang tidak memiliki satu senpun!
Distrik ini dikenal dengan Desa Greenwich. Para seniman mulai memadati tempat-tempat disana. Mereka memilih ruangan sesuai selera, dengan pencahayaan terang dan sewa murah.
Sue dan Johnsy tinggal di kamar paling atas lantai tiga. Salah satu dari wanita muda itu berasal dari Maine, satunya lagi dari California. Mereka bertemu dalam acara jamuan makanan. Mereka memiliki kesamaan dalam hal seni, makanan, dan pakaian. Sehingga, mereka memutuskan untuk tinggal dan bekerja bersama-sama.
Itu terjadi pada musim semi.
Sekarang musim dingin aneh memasuki Desa Greenwich. Tak terlihat. Dia menyerang satu per satu orang dengan jarinya yang dingin. Dia penyakit yang buruk. Dokter menyebutnya Pneumonia. Dibagian timur, dia menyerang orang-orang dengan cepat; tetapi di narrow street dia bergerak lambat.
Tuan Pneumonia bukanlah seorang pria tua yang baik. Pria tua yang baik tidak akan menyerang wanita yang lemah dari California. Tetapi Johnsy bukanlah pengecualian bagi Pneumonia. Dia terbaring tak berdaya di tempat tidurnya, dan hanya memandang dinding disebelah rumahnya melalui jendela.
Pagi harinya seorang dokter berbincang dengan Sue di ruangan yang tidak terdengar oleh Johnsy.
“Kesempatan untuk sembuh kecil,” kata dokter. “Dia memiliki kesempatan, jika dia ingin bertahan hidup. Jika dia tidak ingin hidup, saya tidak dapat berbuat banyak. Dan temanmu sepertinya telah yakin bahwa dia tidak akan sembuh. Apakah ada hal yang dipikirkannya?”
“Dia ingin pergi ke Italy dan melukis Bay of Naples,” Jawab Sue.
“Melukis! Ya ampun. Apakah tidak ada hal menarik lain yang bisa dipikirkannya? Seorang lelaki misalnya?”
“Seorang lelaki?” Jawab Sue. “Apakah ada seorang lelaki layak— Tidak, dokter. Dia bukan seseorang yang akan memikirkan lelaki.”
“Hanya kemungkinan,” kata dokter. “Saya akan berusaha semampu saya untuk menyelamatkannya. Tetapi, ketika pasien mulai berfikiran akan kematian, setengah kinerja penyembuhan saya berakhir dengan sia-sia. Mulailah obrolan tentang pakaian baru untuk musim dingin. Jika dia tertarik, kesempatan hidupnya akan lebih baik.”
Setelah dokter pergi, Sue menangis di ruang kerjanya. Kemudian dia berjalan menuju kamar Johnsy. Dia membawa papan lukis dan bernyanyi.
Johnsy masih berbaring, sangat kurus dan sangat diam. Wajahnya menghadap ke arah jendela. Sue berhenti bernyanyi, mengira Johnsy sedang tidur.
Sue mulai melukis. Dia melukis dengan mendengar suara-suara pelan, lagi dan lagi. Dia berpindah ke sisi ranjang.
Mata Johnsy terbuka lebar. Dia menatap jendela dan menghitung— menghitung mundur.
“Dua belas,” ujarnya dan jeda sejenak, “Sebelas”; dan kemudian, “Sepuluh”, dan “Sembilan”; dan “Delapan” dan “Tujuh”, hampir bersamaan.
Sue memandang ke arah jendela. Apa yang sedang dihitungnya? Disana hanya ada dinding disebelah rumahnya, jaraknya cukup jauh. Dindingnya tidak ada jendela. Tanaman Ivy yang tua merambat berlawanan dengan dinding. Nafas dingin musim dingin telah menggugurkannya. Hampir semua daunnya telah berguguran dari dahannya.
“Apa itu, sayang?” tanya Sue.
“Enam” bisik Johnsy. “Mereka berguguran. Tiga hari yang lalu jumlahnya hampir seratus. Kepalaku sampai pusing menghitungnya. Namun sekarang lebih mudah. Itu ada satu lagi yang jatuh. Sekarang tinggal lima.”
“Oh, omong kosong macam apa itu,” kata Sue. “Benar-benar tidak masuk akal. Apa hubungannya pohon itu denganmu? Atau dengan kesehatanmu? Dan bukankah kau sangat menyukai tanaman itu. Jangan berfikir hal-hal bodoh. Dokter mengatakan padaku tentang kesempatanmu untuk sembuh. Pagi hari tadi. Dia mengatakan kamu dapat sembuh! Cobalah untuk makan sekarang. Dan melukislah. Dan menjualnya, dan aku bisa membelikanmu makanan yang membuatmu sehat.”
“Kau tidak perlu membelikan apapun untukku,”sahut Johnsy. Dia masih setia memandang ke arah jendela. “Daun yang lain berjatuhan. Tidak, aku sedang tidak berselera untuk makan. Sekarang sisa empat. Aku ingin melihat daun terakhir sebelum malam tiba. Lalu aku juga akan pergi.”
“Johnsy, sayang,” kata Johnsy. “Maukah kau berjanji padaku untuk menutup matamu? Maukah kamu tidak menatap jendela sampai aku selesai melukis? Aku harus menyerahkannya besok. Aku butuh penerangan; Aku tidak bisa menutup jendela.”
“Bisakah kau melukis di tempat lain?” tanya Johnsy dingin.
“Aku ingin menemanimu,” sahut Sue. “Dan aku tidak mau kau terus-terusan menatap daun-daun itu.”
“Kalau sudah selesai beritahu aku” kata Johnsy. Dia kembali menutup matanya dan berbaring. “Karena aku ingin melihat daun terakhir gugur. Aku lelah menunggu. Aku lelah berfikir. Aku ingin berlayar terus, terus, seperti dedaunan yang berguguran.”
“Cobalah untuk tidur,” ujar Sue. “Aku harus memanggil Behrman. Aku ingin dia menjadi modelku, dan aku akan melukisnya semirip mungkin. Aku hanya pergi sebentar. Jangan banyak bergerak sampai aku kembali.”
Behrman tua adalah seorang pelukis yang tinggal di lantai dasar bangunan yang sama. Umurnya sudah lewat enam puluh. Dia sama sekali tidak berjiwa seni. Selama empat puluh tahun dia menggores kuasnya tanpa menghasilkan karya yang bagus. Dia selalu mengumbar tentang lukisan yang indah, maha karya, namun tidak pernah membuktikannya.
Penghasilan didapatnya dengan menjadi model untuk seniman lain. Dia seorang peminum. Dia mengumbar segala hal tentang maha karya yang akan dibuatnya. Dan dia menganggapnya sebagai tugas untuk membantu Sue dan Johnsy.
Sue menemukannya di kamar yang redup, dan dia tahu dia sedang minum. Dia dapat merasakan baunya. Dia mulai menceritakan keadaan Johnsy dan daun tanaman merambat itu. Dia takut Johnsy akan berlayar turun, turun seperti daun-daun yang berguguran. Dia akan pergi ketika pegangannya terhadap dunia semakin melemah.
Behrman tua berteriak menghina atas pemikiran konyol tersebut.
“Apa maksudmu! dia berteriak. “Apakah kalian bodoh? Apa ada orang mati hanya karena sehelai daun jatuh? Aku tidak pernah mendengar hal semacam itu. Tidak, aku tidak akan datang dan duduk berpose seperti modelmu. Kenapa kau membiarkan hal seperti itu memasuki pikirannya? Oh Johnsy yang malang.”
“Dia sakit dan lemah,” sahut Sue. “Rasa sakit membuat pikirannya tidak waras. Tuan Behrman, jika kamu tidak mau menjadi modelku, tidak apa-apa. Tapi, kurasa itu benar kamu orang yang banyak tingkah.”
“Dasar para wanita,” teriak Behrman. “Siapa yang bilang aku tidak mau? Ayo, aku ikut denganmu. Selama setengah jam sebenarnya aku sudah menyanggupi permintaanmu. Ya Tuhan! Ini bukanlah tempat untuk orang sebaik Johnsy sakit. Suatu hari nanti aku akan melukis sebuah maha karya, dan kita semua akan pergi. Ya Tuhan! Ini benar-benar keren.”
Johnsy masih tertidur ketika mereka naik ke atas. Sue menurunkan tirai jendelanya dan menyuruh Behrman masuk ruangan yang lain. Mereka menatap tanaman itu dengan cemas. Kemudian mereka saling berpandangan tanpa mengucapkan satu katapun. Hujan bercampur salju yang dingin turun dengan derasnya.
Sue mengangkat tirai jendelanya.
Setelah hujan deras dan badai sepanjang malam, hanya tersisa satu daun yang menempel di dinding. Itu adalah daun terakhir. Warnanya hijau gelap dekat dengan cabang. Tetapi, tepinya berwarna kuning. Daun itu menggantung dua puluh kaki dari tanah.
“Itu daun yang terakhir,” Kata Johnsy. “Kupikir tidak ada lagi daun yang bertahan selama badai semalam. Aku mendengar suara badai. Seharusnya daun itu gugur hari ini, dan aku juga mati.”
“Sayang, Johnsy sayang,” ujar Sue. “Pikirkan aku, jangan memikirkan dirimu sendiri. Apa yang bisa kulakukan tanpamu?”
Namun, Johnsy tidak menjawab. Kesepian yang paling mendalam di dunia ini adalah ketika sebuah jiwa siap untuk memulai perjalanannya yang jauh. Melonggarkan ikatan akan pertemanan dan dunia ini, satu per satu.
Waktu terasa berjalan lambat. Saat senja menjelang, mereka masih dapat melihat daun itu menggantung dibatangnya yang menempel pada dinding. Dan kemudian, saat malam datang, datanglah angin utara lagi. Bersamaan dengan hujan yang menderu-deru di jendela.
Pagi hari yang cerah, Johnsy menyuruh Sue untuk mengangkat tirainya.
Daun masih menggantung disana.
Johnsy cukup lama mamandangnya. Dan kemudian dia memanggil Sue, yang sedang memasak untuknya.
“Aku benar-benar wanita bodoh, Sue.” kata Johnsy. “Sesuatu membuat daun itu masih bertahan disana untuk memberiku pelajaran. Mengharapkan kematian ternyata salah. Tolong bawakan aku makanan. Tapi, ambilkan aku cermin dulu, untuk melihat diriku. Aku juga ingin duduk dan melihatmu memasak.”
Satu jam kemudian dia berkata, “Sue, aku berharap suatu hari nanti bisa melukis Bay of Naples.”
Dokter datang berkunjung siang harinya. Sue mengikutinya keluar saat dokter itu hendak pergi untuk berbincang.
“Kondisinya sudah cukup baik,” kata dokter. Dia menjabat tangan Sue yang kurus. "Rawatlah dengan baik dan dia akan sembuh. Dan sekarang aku harus menangani pasienku yang lain di rumah ini. Namanya Behrman. Seorang seniman, kalau tidak salah. Dia juga mengidap Pneumonia. Dia orang yang tua, lemah, dan sakit parah. Tetapi kita akan membawanya ke rumah sakit. Kita akan berusaha sebaik mungkin untuk merawatnya.”
Besoknya dokter mengatakan kepada Sue: “Kondisinya membaik. Berikan dia nutrisi dan perawatan yang cukup—itu saja.”
Dan siang harinya Sue masuk ke kamar Johnsy yang sedang berbaring. Dia melingkarkan salah satu tangannya dipundak Johnsy.
“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” katanya. “Tuan Behrman meninggal karena Pneumonia di rumah sakit hari ini. Dia jatuh sakit selama dua hari. Seseorang menemukannya pada pagi hari pertama di ruangannya. Dia terbaring tak berdaya.”
“Sepatu dan bajunya basah dan dingin layaknya es. Semua orang bertanya-tanya dimana dia saat malam itu. Malam yang dingin dan mengerikan. “
“Dan kemudian mereka menemukan sesuatu. Sebuah lentera yang masih menyala. Dan peralatan melukis. Seperti kuas, palet dengan warna hijau dan kuning. Dan—“
“Lihatlah ke luar jendela, sayang, lihat daun terakhir itu, Apakah kau tidak heran ketika daun itu tidak bergerak sedikitpun ketika angin berhembus? Oh, sayang, inilah maha karya Behrman—dia melukisnya di malam saat daun terakhir gugur."

Comments
Post a Comment